Presisi Minum: Serba-Serbi Cedera Akibat Panas Saat Olahraga serta Penerapan Rekomendasi Minum
Abstrak
Berbagai penelitian mengenai hubungan suhu lingkungan dan kejadian cedera akibat panas telah banyak dipelajari.1–6 Indonesia adalah negara tropis dengan suhu rata-rata dapat mencapai di atas 300C7 dan kelembaban lebih dari 80%8. Kondisi tersebut, meningkatkan risiko cedera akibat panas ketika melakukan latihan.3,4,9–12 Salah satu cara yang dinilai cukup efektif untuk mencegah cedera akibat panas saat olahraga adalah dengan penerapan rekomendasi minum yang benar.
Kata kunci: cedera akibat panas, olahraga, rekomendasi minum.
Latar Belakang
Kegemaran untuk melakukan olahraga di Indonesia dirasakan terus meningkat seiring dengan perkembangan waktu. Hal tersebut terlihat dari semakin menjamurnya komunitas olahraga rekreasi dan acara olahraga khususnya lomba lari yang berlangsung di Indonesia.13 Olahraga dapat dilakukan di dalam dan luar ruangan. Olahraga yang dilakukan luar ruangan sangat berhubungan dengan iklim dan suhu lingkungan.5 Indonesia adalah negara tropis yang terpapar oleh sinar matahari sepanjang tahunnya. Tercatat suhu rata-rata Indonesia dapat mencapai di atas 30oC dengan kelembaban lebih dari 80%.7,8 Kondisi tersebut, akan meningkatkan risiko cedera akibat panas ketika melakukan latihan.3,4,9–12
Berbagai penelitian mengenai hubungan suhu lingkungan dan kejadian cedera akibat panas telah banyak dipelajari.1–6 Salah satu studi yang memberikan bukti kuat bahwa suhu panas berhubungan erat dengan angka kejadian Exertional Heat Stroke (EHS) adalah studi dari Roberts dkk., yang mengevaluasi prevalensi EHS pada Twin Cities Marathons selama 12 tahun.1 Didapatkan bahwa angka kejadian kolaps yang berhubungan dengan cedera akibat panas sebesar 3 dari 10.000 peserta dan angka kejadian EHS sebesar 1-2 kasus dari 10.000 peserta.1 Salah satu cara yang dinilai cukup efektif untuk mencegah cedera akibat panas saat olahraga adalah dengan penerapan rekomendasi minum yang benar dan optimal.11,14
Definisi
Exertional Heat Illness atau yang lebih dikenal sebagai cedera akibat panas, diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahan efek yang ditimbulkan. Efek cedera yang minimal antara lain kram akibat panas, ruam akibat panas, sinkop akibat panas, dan kelelahan akibat panas hingga dapat mengancam jiwa (exertional heat stroke).10,15 EHS sendiri merupakan kegawatdaruratan medis yang disertai dengan defisit neurologis dan dapat berujung pada kerusakan organ bahkan kematian.15
Klasifikasi cedera akibat panas
Perbedaan dan karakteristik cedera akibat panas9
Klasifikasi | Definisi | Tanda dan gejala | Tatalaksana |
Heat cramps | Spasme otot skeletal yang nyeri saat melakukan latihan di suhu panas | Kontraksi otot yang involunter dan terus menerus serta menimbulkan rasa nyeri. | Peregangan, terapi cairan dan konsumsi elektrolit. |
Heat syncope | Kehilangan kesadaran dalam suhu lingkungan panas yang disebabkan akumulasi darah di daerah ekstremitas bawah | Pusing, kehilangan kesadaran, pingsan. | Tirah baring pada area yang teduh, elevasikan ekstremitas bawah dengan posisi lebih tinggi dari jantung dan berikan terapi carian. |
Heat exhaustion | Ketidakmampuan untuk melanjutkan olahraga di suhu panas yang disebabkan penurunan kinerja kardiovaskular. | Kelelahan, pusing, koordinasi buruk, suhu rektal <40.50C | Tirah baring pada area yang teduh, elevasikan ekstremitas bawah dengan posisi lebih tingi dari jantung dan berikan terapi carian. |
EHS | Hipertermia berat yang disebabkan olahraga atau aktivitas fisik, merupakan kegawatdaruratan medis dan memerlukan penanganan segera | Suhu rektal >40.50C dan terdapat gangguan disfungsi sistem saraf pusat (misalnya: agitasi, inkoordinasi, sinkop, confusion) | Cold water immersion dilakukan secara cepat, segera rujuk ke instalasi gawat darurat untuk penanganan lebih lanjut. |
Perlu diperhatikan bahwa bila terjadi salah satu cedera akibat panas bukan berarti pasti akan mengarah kepada terjadinya cedera akibat panas lainnya yang lebih parah/serius. Sering terjadi kekeliruan konsep, bahwa kelelahan akibat panas menjadi gejala awal yang selalu mendahului terjadinya exertional heat stroke. Kelelahan akibat panas sering dianggap sebagai intoleransi tubuh terhadap panas dan akan mengarah kepada EHS di kemudian hari. Pengkajian kasus demi kasus harus dilakukan setiap kali melakukan olahraga di suhu panas. Setiap kasus mungkin saja saling berhubungan atau tidak berhubungan sama sekali.10
Kunci utama dalam mempertahankan suhu tubuh adalah dengan menjaga gradien/tingkatan suhu dari dalam tubuh ke permukaan kulit sehingga penghantaran panas keluar tubuh dapat berjalan lancar. Reseptor suhu pada sistem saraf pusat dan perifer berperan aktif dalam pengaturan tersebut dengan mengatur aliran darah kulit, pengaturan keringat untuk menghantarkan panas dan menjaga suhu tubuh. Ketika keseimbangan ini terganggu, panas yang dihasilkan melebihi panas yang dihantarkan keluar tubuh, maka akan terjadi hipertermia. Peningkatan suhu tubuh ini akan meningkatkan risiko terjadinya cedera akibat panas.10
Pencegahan
Walaupun tidak semua EHS dapat dicegah, banyak faktor intrinsik dan ekstrinsik yang dapat dimodifikasi sehingga menurunkan risiko terjadinya EHS dan menciptakan kondisi olahraga yang aman.9 Bukti-bukti penelitian menyatakan bahwa bahaya hipertermia akan dapat dikurangi dengan melakukan strategi pencegahan yang tepat dan dilakukan seluruh pihak termasuk olahragawan itu sendiri.1 Salah satu cara yang mampu laksana untuk seluruh semua orang dalam pencegahan cedera panas adalah dengan menerapkan rekomendasi minum sebelum, selama dan setelah olahraga.
National Athletic Trainers’ Association mengeluarkan Position Statement sebagai panduan rekomendasi untuk mengoptimalisasikan penerapan tatacara penggantian cairan tubuh selama olahraga. Dalam position statement tersebut terdapat beberapa rekomendasi yang dikemukakan sebagai berikut:11
- Protokol hidrasi yang baik memperhatikan keunikan masing-masing variasi olahraganya. Apabila kesempatan untuk rehidrasi dapat dilakukan berulang kali maka atlet disarankan untuk mengkonsumsi dalam jumlah kecil berdasarkan kecepatan berkeringat dan kondisi lingkungan. Apabila rehidrasi hanya dapat dilakukan di tempat atau waktu yang spesifik maka atlet disarankan untuk mengkonsumsi cairan dalam jumlah maksimal sesuai aturan yang berlaku.11
- Cairan rehidrasi ditempatkan pada penampungan yang mudah diambil oleh masing-masing atlet ke dalam wadah pribadi mereka dan rasa cairan tersebut disesuaikan dengan keinginan atlet bersangkutan.11,16 Wadah minum atlet yang dapat memantau cairan masuk saat olahraga diizinkan untuk digunakan. Misalnya, botol minum bening dengan marka penambahan 100 mL akan membuat atlet untuk sadar minum dalam jumlah yang cukup sehingga atlet tersebut tidak hanya minum berdasarkan sensasi haus atau kebiasaan beberapa teguk saja. Membawa botol minum atau metode hidrasi yang lain saat olahraga akan meningkatkan konsumsi cairan hidrasi lebih banyak.11,17
- Atlet diharuskan memulai seluruh sesi olahraganya dalam keadaan terhidrasi baik. Status hidrasi yang baik dapat dicapai dalam berbagai macam metode.18,19 Metode yang paling sederhana adalah dengan membandingkan warna urin menggunakan kurva warna urin.11,19 Pemeriksaan berat jenis urin menggunakan refraktometer akan menjadi lebih objektif jika dibandingkan dengan membandingkan warna urin menggunakan kurva warna urin. Volume urin juga merupakan indikator status hidrasi lainnya namun dalam prakeknya akan sulit untuk mengumpulkan dan memeriksanya. Urin yang digunakan dalam pemeriksaan parameter status hidrasi adalah urin midstream. Karena sifat dinamis dari urin dan berat badan, maka pemeriksaan dilakukan sebelum, selama dan setelah sesi olahraga untuk melihat keseimbangan cairan tubuh.11
- Untuk memastikan hidrasi yang baik, atlet sebaiknya minum sebanyak 500 hingga 600 mL air atau cairan isotonik 2-3 jam sebelum olahraga dan 200-300 mL sekitar 10-20 menit sebelum sesi olahraga dimulai.11
- Penggantian cairan tubuh seharusnya sebanding dengan keringat dan urin yang keluar saat olahraga dan mempertahankan persentase cairan tubuh agar tidak terjadi dehidrasi lebih dari 2%. Oleh karena itu dibutuhkan cairan sekitar 200-300 mL setiap 10-20 menit. Rekomendasi individual dapat dihitung berdasarkan kecepatan berkeringat, jenis olahraga yang dilakukan dan toleransi individu.11
- Hidrasi setelah olahraga ditujukan untuk memperbaiki apabila terdapat kehilangan cairan selama olahraga. Idealnya, perbaikan status hidrasi dilakukan dalam durasi 2 jam setelah olahraga. Rehidrasi meliputi air yang akan mengembalikan komposisi status hidrasi, karbohidrat yang akan mengembalikan cadangan glikogen dan elektrolit yang akan mempercepat kecepatan hidrasi. Tujuan utamanya adalah untuk mengembalikan fungsi fisiologi tubuh.11
- Suhu cairan yang direkomendasikan adalah suhu sejuk sekitar 10-15oC. hal ini akan mempengaruhi banyaknya cairan yang dikonsumsi.11
- Suhu dan kelembaban lingkungan juga akan mempengaruhi status hidrasi. Kelembaban relatif yang cukup tinggi akan memperlambat proses evaporasi sehingga mekanisme penurunan suhu tubuh akan terganggu. Hal ini akan menyebabkan risiko terjadinya dehidrasi karena tubuh akan terus mengeluarkan keringat namun keringat tidak dapat menguap sehingga suhu tubuh akan sulit turun.11
- Penggunaan cairan yang mengandung karbohidrat untuk hidrasi akan memberikan manfaat yang cukup banyak. Penggunaan cairan yang berkarbohidrat 2-3 jam sebelum olahraga akan meningkatkan jumlah cadangan glikogen. Pada olahraga intensitas tinggi dengan durasi lebih dari 30 menit, penggunaan cairan berkarbohidrat akan memberikan manfaat. Oleh karena itu, penggunaan cairan berkarbohidrat disarankan pada olahraga dengan durasi lebih dari 45 menit. Kecepatan penyerapan cairan berkarbohidrat sekitar 1 g/menit ini akan memaksimalkan metabolisme energi selama olahraga. Sebelum berolahraga, disarankan untuk mengkonsumsi cairan berkarbohidrat sekitar 30 menit. Jenis karbohidrat yang dapat direkomendasikan adalah karbohidrat jenis glukosa, sukrosa dan glukosa kompleks. Substansi yang sebaiknya dibatasi sebagai karbohidrat dalam cairan rehidrasi adalah fruktosa yang dapat menyebabkan gastrointestinal distress. Sedangkan substansi yang sebaiknya dihindari adalah kafein, alkohol yang dapat membuat tubuh menjadi lebih dehidrasi dan minuman berkarbonasi yang akan membuat perut terasa penuh.11
- Atlet juga harus mengetahui tanda-tanda dehidrasi, yaitu: rasa haus, iritabilitas, dan keadaan yang kurang nyaman. Gejala-gejala tersebut dapat diikuti oleh nyeri kepala, lemas, pusing, keram, mual, muntah, dan penurunan kinerja olahraga. Diagnosis awal dehidrasi akan menurunkan angka kejadian heat illness.11
- Penambahan garam pada cairan rehidrasi perlu diperhatikan pada kondisi-kondisi berikut, antara lain akses pada makanan terbatas, durasi olahraga yang lebih dari 4 jam, atau dalam suhu lingkungan yang panas. Penambahan garam yang direkomendasikan pada kondisi ini adalah 0.3-0.7 g/L. Dengan penambahan garam di dalam cairan, hidrasi akan mengurangi risiko masalah kesehatan yang mengganggu keseimbangan elektrolit (contohnya keram otot, hiponatremia). Penambahan garam dalam cairan rehidrasi juga bermanfaat untuk merangsang sensasi haus yang akan meningkatkan asupan cairan dan menurunkan risiko terjadinya hiponatremia dan seharusnya tidak berbahaya.11
- Semua jenis olahraga membutuhkan penimbangan berat badan untuk memeriksa status hidrasi atlet yang bersangkutan. Batas status hidrasi yang baik adalah berat jenis urin kurang dari 1.020 atau warna urin berdasarkan kurva warna urin kurang dari tingkat 4. Semua prosedur atau metode yang mengarah pada dehidrasi berlebihan (misalnya diuretik, pakaian plastik, olahraga dalam sauna) dilarang.11
Kesimpulan
Melakukan olahraga dalam suhu tinggi akan meningkatkan risiko terjadinya cedera akibat panas.10,15 Strategi pencegahan cedera akibat panas dengan melakukan penerapan minum dinilai efektif untuk menurunkan risiko terjadinya cedera akibat panas.4,9,10,12,14,20
Penulis: Alvin Wiharja, Sri Nilawati
Program Studi Ilmu Kedokteran Olahraga, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
- DeMartini JK, Casa DJ, Belval LN, et al. Environmental conditions and the occurrence of exertional heat illnesses and exertional heat stroke at the falmouth road race. J Athl Train. 2014;49(4):478-485. doi:10.4085/1062-6050-49.3.26.
- Montazer S, Farshad AA, Monazzam MR, Eyvazlou M, Yaraghi AAS, Mirkazemi R. Assessment of construction workers’ hydration status using urine specific gravity. Int J Occup Med Environ Health. 2013;26(5):762-769. doi:10.2478/s13382-013-0143-x.
- Casa D. Exercise in the Heat. I. Fundamentals of Thermal Physiology, Performance Implications, and Dehydration. J Athl Train. 1999;34(3):246-252.
- Casa DJ, DeMartini JK, Bergeron MF, et al. National athletic trainers’ association position statement: Exertional heat illnesses. J Athl Train. 2015;50(9):986-1000. doi:10.4085/1062-6050-50.9.07.
- Bardis CN, Kavouras SA, Arnaoutis G, Panagiotakos DB, Sidossis LS. Mild dehydration and cycling performance during 5-kilometer hill climbing. J Athl Train. 2013;48(6):741-747. doi:10.4085/1062-6050-48.5.01.
- Yankelson L, Sadeh B, Gershovitz L, et al. Life-threatening events during endurance sports: Is heat stroke more prevalent than arrhythmic death? J Am Coll Cardiol. 2014;64(5):463-469. doi:10.1016/j.jacc.2014.05.025.
- Arsali, Satya OC, Supardi PI. Coefficient determinations for calculations of daily mean air temperature in Palembang climatological station. J Meteorol dan Geofis. 2015;16(1):37-45.
- Wati T, Pawitan H SA. Dependence of evaporation on meteorological variable at different time-scales. J Meteorol dan Geofis. 2015;16(3):155-165.
- Pryor RR, Casa DJ, Holschen JC, O’Connor FG, Vandermark LW. Exertional Heat Stroke: Strategies for Prevention and Treatment From the Sports Field to the Emergency Department. Clin Pediatr Emerg Med. 2013;14(4):267-278. doi:10.1016/j.cpem.2013.10.005.
- Pryor RR, Roth RN, Suyama J, Hostler D. Exertional heat illness: emerging concepts and advances in prehospital care. Prehosp Disaster Med. 2015;30(3):297-305. doi:10.1017/S1049023X15004628.
- Casa DJ, Armstrong LE, Hillman SK, et al. National Athletic Trainers’ Association Position Statement: Fluid Replacement for Athletes. J Athl Train. 2000;35(2):212-224. doi:10.4085/1062-6050-48.2.25.
- Levine BD, Thompson PD. Marathon maladies. N Engl J Med. 2005;352:1516-1518. doi:10.1056/NEJMp058043.
- Jadwal Lomba Lari di Indonesia 2016. [website]. http://www.ayolari.in/jadwal/. Published 2016.
- Sawka MN, Burke LM, Eichner ER, Maughan RJ, Montain SJ, Stachenfeld NS. American College of Sports Medicine position stand: Exercise and fluid replacement. Med Sci Sports Exerc. 2007;39(2):377-390. doi:10.1249/mss.0b013e31802ca597.
- Miller KC, Swartz EE, Long BC. Cold-Water Immersion for Hyperthermic Humans Wearing American Football Uniforms. J Athl Train. 2015;50(8):792-799. doi:10.4085/1062-6050-50.6.01.
- Roberts WO. International SportMed Journal FIMS Position Statement 2012 Fluid replacement for sports safety and performance. Int SpotMed J. 2012;13(2):39-42.
- Yeargin SW, Finn ME, Eberman LE, Gage MJ, McDermott BP, Niemann A. Ad libitum fluid consumption via self-or external administration. J Athl Train. 2015;50(1):51-58. doi:10.4085/1062-6050-49.3.76.
- Perrier E, Rondeau P, Poupin M, et al. Relation between urinary hydration biomarkers and total fluid intake in healthy adults. Eur J Clin Nutr. 2013;67(9):939-943. doi:10.1038/ejcn.2013.93.
- Baron S, Courbebaisse M, Lepicard EM, Friedlander G. Assessment of hydration status in a large population. Br J Nutr. 2015;113(1):147-158. doi:10.1017/S0007114514003213.
- Armstrong LE, Casa DJ, Millard-Stafford M, Moran DS, Pyne SW, Roberts WO. American College of Sports Medicine position stand: Exertional heat illness during training and competition. Med Sci Sports Exerc. 2007;39(3):556-572. doi:10.1249/MSS.0b013e31802fa199.